Seni Berpolitik Gaya Muhammad Ali Dan Mike Tyson - Suara Medan | Info Medan Terkini
Beranda · Berita · Teknologi · Olahraga · Gaya Hidup

Seni Berpolitik Gaya Muhammad Ali Dan Mike Tyson

Seni Berpolitik Gaya Muhammad Ali Dan Mike Tyson
SUARAMEDAN.com - Salah satu perbedaan utama antara Muhammad Ali dengan Mike Tyson adalah pada gaya bertarung. Muhammad Ali menikmati pertandingan diatas ring. Dia senang mengeksplorasi gaya bertarung lawannya. Jarang sekali dia mengkanvaskan lawan diawal ronde. Kalau perlu, dia memberikan sedikit kesenangan pada lawan untuk memukul dirinya dan membuat penonton terhenyak. Namun jika tiba masanya, dia akan keluarkan jab - jab maut, untuk meng-KO lawan mainnya. Betul, Muhamad Ali bukan sedang bertinju tapi sedang menari. Atau lebih tepatnya, menari seperti kupu - kupu dan menyengat seperti lebah.

Kalau Mike Tyson lain gaya, lain karakter. Pukulan penuh tenaga dan gaya bertarung agresif sudah dipertunjukkan diatas ring sejak pertama kali bel dibunyikan. Aroma ketakutan dia berikan kepada pihak lawan dan histeria massa menggemuruh terus menerus. Seringkali lawan jatuh tersungkur diawal ronde dan kita lebih menyaksikan sebuah pembantaian ketimbang pertandingan. Karena itu, jika lawan bertnding mampu bertahan lebih dari 5 ronde, mereka sudah menang secara psikologis. Selanjutnya, tinggal mengkonversinya sebagai kemenangan sebagaimana yang dilakukan Evander Hollyfield.

Siapa yang lebih disukai oleh penonton? Beda orang, beda karakter dan beda pula kecenderungannya. Tapi kalau kami pribadi, lebih suka dengan gaya Muhammad Ali yang mampu memadukan antara olahraga dengan hiburan, ketimbang Mike Tyson yang menyajikan olahraga dengan kekerasan. Para penonton sudah membayar tiket pertandingan dengan mahal, tentu mereka ingin melihat tontonan yang berkelas. Bukan sekedar bak bik buk, dan lawan jatuh tersungkur dalam jangka kurang dari 2 menit.

Seorang gladiator hebat, bukan sekedar berfikir bagaimana menghabisi lawan tandingnya. Tapi dia juga akan beratraksi untuk merebut hati penonton. Seorang politisi yang hebat, bukan sekedar berfikir untuk meraih kemenangan, tapi juga akan memberikan pendidikan politik dengan cara yang khas, yakni ringan, menghibur tapi berbobot. Terlebih dahulu, kita perlu membedakan antara musuh dengan lawan. Musuh memang harus dihabisi, tapi tidak demikian dengan lawan. Lawan yang hebat membuat kemampuan dan ilmu kita juga meningkat. Lawan yang hebat membuat permainan jadi menarik dan layak ditunggu sampai akhir. Lawan adalah teman yang berdiri disudut yang berbeda. Tepat sekali kata Sayyidina Ali bin Abu Thalib ra, bahwa "Lawan debatku adalah teman berfikirku".

Pilkada dan Pemilu adalah ajang yang selalu berulang. Semestinya kita merenungi, ilmu apa yang sudah bertambah dari gelaran Pilkada dan Pemilu yang sudah dilalui. Seyogyanya kita bermuhasabah, kedewasaan seperti apa yang sudah kita capai dan dititik mana kapasitas mengalami percepatan. Jika narasi yang dibangun diruang publik tidak beranjak dari sekedar "Pilih ini, coblos itu", maka posisi kita tidak lebih dari manusia kerdil yang berdiri ditepi zaman. Tapi jika ajang Pilkada mampu menggores karakter dan mendewasakan nalar, berarti kita siap menjadi manusia pembelajar.

Siapa kita saat ini, hanya kita yang tahu. Siapa kita dimasa depan, mungkin kita bisa bertukar pikiran. Bagaimana kondisi masyarakat dengan keberadaan dan kiprah kita, itulah yang sedang kita perjuangkan. Semoga ajang Pilkada ini (dikabupaten dan provinsi manapun), bukan hanya gelaran yang bersifat prosedural yang jauh dari substansi. Tapi juga mampu menghadirkan SOLUSI atas problematika yang dialami masyarakat. Amin.

*Eko Zun

0 Response to "Seni Berpolitik Gaya Muhammad Ali Dan Mike Tyson"

Post a Comment