Bulan Terbelah di Langit Amerika (BTLA) dan 3: Alim Lam Mim (3 ALM). Keduanya karya anak bangsa yang memiliki misi advokasi, pembelaan atas nilai-nilai universal Islam. Perlawanan terhadap gejala Islamofobia. Terdengar aneh, di tengah dunia hiburan yang didominasi hedonisme.
Meski membawa pesan
berat, kualitas kedua film itu dari segi sinematografis istimewa. Tak kalah
dengan produk Hollywood. BTLA baru rilis pertengahan Desember 2015 dan masih
tayang hingga saat ini. Film 3 ALM rilis lebih dulu, tapi hanya bertahan satu
pekan, lalu terpaksa diturunkan dari layar lebar.
Sekali lagi perlu
dicatat, pendeknya masa tayang di bioskop tidak menunjukkan bahwa 3 ALM di
bawah standar atau tidak disukai penonton. Buktinya, film itu sempat tampil di
Balienale dan dipuji penonton asing. Sejumlah penonton sengaja datang dari
Singapura dan Kuala Lumpur untuk menyaksikan film yang tak diinginkan
kelahirannya, karena sang produser tak menyangka bahwa produknya mengandung
pesan khusus, bukan sekadar karya ecek-ecek.
Setelah raib dari gedung
bioskop, 3 ALM justru laris ditanggap di kampus dan pondok pesantren. Dan,
akhirnya berbiaya relatif murah itu tampil di layar kaca (Net TV) tepat pada
akhir tahun 2015. Film futuristik seputar Indonesia tahun 2036 itu bercerita
tentang 3 santri yang belajar mengaji dari seorang Kiai (Mukhlis) dan guru
silat (Astaroth). Dua puluh tahun kemudian, Alif (Cornelio Sunni) memilih jadi
penegak hukum, Herlam (Abimana Aryasatya) menjadi wartawan, dan Mimbo (Agus
Kuncoro) memilih setia sebagai guru di pesantren.
Tiga sekawan itu menghadapi
kenyataan ‘Indonesia yang berbeda’, ketika elite liberal berkuasa. Pancasila
dipangkas hanya tinggal Catursila (Ketuhanan Yang Maha Esa dianulir), pemeluk
agama dikucilkan, bahkan rumah ibadah dibiarkan terbengkalai. Ternyata, imaji
tentang kebebasan yang bertahta tidak membawa kesejahteraan dan kebahagiaan
rakyat.
Islam dan pesantren
dituding sebagai biang terorisme. Alif diperalat oleh komandannya, Kolonel
Mason, untuk menangkap dan membunuh kiai serta saudara seperguruannya sendiri.
Alif baru sadar betapa sang Kolonel terlibat dalam jaringan rahasia yang ingin
menguasai Indonesia dengan cara adu domba, termasuk tega mengorbankan putrinya
sendiri: Laras – kekasih Alif. Film ini tak hanya berbicara soal intrik tingkat
tinggi, tapi juga trik silat kelas dunia – tak kalah dengan Jackie Chan atau
Chow Yun Fat (dalam film Croucing Tiger, Hidden Dragon).
Di tengah pertarungan
ideologi, ada kisah cinta mengharukan: Alif dan Laras yang
berakhir tragis. Ada pula cerita kesetiaan seorang istri wartawan, Gendis, yang
memilih pasangan hidup untuk berjuang. Anak Gendis dan Herlam sematang wayang,
Gilang, dengan kecerdasan komputer membongkar skenario jahat Kolonel Mason dan
para Jenderal pembenci Islam. Sutradara Anggy Umbara benar-benar jenius
merangkai 3 sekuens cerita (Alif-Lam-Mim) sebagai satu kesatuan wacana.
Besutannya tak kalah dengan karya Quentin Tarantino, yang piawai membuat film
figuratif ala Hollywood.
BTLA mengungkap wacana
serupa: Islamofobia di pusat peradaban Barat. Latar belakang peristiwa pasca
peledakan gedung WTC di New York. Mahasiswa Indonesia (Rangga, diperankan
dengan apik oleh Abimana, juga pemeran Herlam dalam film 3) dan istrinya seorang
wartawan (Hanum, diperankan Acha Septriasa) terseret dalam misteri kematian
Hussein. Ia seorang pekerja kemanusiaan yang menyantuni para yatim korban
perang Afghanistan. Hussein berada di tempat yang salah (gedung kembar WTC)
pada hari yang salah (11 September 2001).
Hilangnya Hussein, tanpa
kabar, dalam reruntuhan gedung WTC yang ditabrak pesawat membawa bencana bagi
istrinya, Azima. Mereka dituduh sebagai keluarga teroris,
kaum imigran yang tidak tahu berterima kasih kepada kebaikan hati negeri Paman
Sam. Efek tragedi 911 juga dirasakan oleh putri mereka, Sarah, yang dikeluarkan
dari sekolah dan dikucilkan dari pergaulan lingkungan. Hidup sebagai Muslim di
negeri yang mengagungkan kebebasan ternyata berubah jadi kutukan. Azima
terpaksa menyembunyikan hijabnya di balik rambut palsu (wig), karena tak kuat
menahan tekanan Islamofobia dari tetangga dan publik AS.
Tapi Sarah, sebagaimana
Gilang dalam 3 ALM, mempunyai kecerdasan tersendiri dengan membuat video
testimoni: betapa sengsaranya dituduh sebagai anak seorang teroris, tanpa bukti
yang valid. Padahal, Sarah yakin ayahnya bukan pembunuh, apalagi monster yang
menakutkan manusia sejagat. Kenangan terakhir Sarah, ketika ayahnya memberi
hadiah paling berharga saat hari ulang tahunnya: kitab suci Al-Quran.
Film BTLA berdasarkan
novel yang ditulis bersama Hanum Salsabila dan Rangga Almahendra. Alur cerita
seperti detektif (diwakili mahasiswa program doktoral dan wartawan investigatif)
yang ingin menjawab pertanyaan sederhana: Would the world be better
without Islam? (Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?). Dalam dunia
nyata, sebenarnya sudah ada buku khusus yang menjawab pertanyaan itu: A
World without Islam, karya Graham E Fuller. Duet novelis Hanum-Rangga (yang
dimunculkan sebagai karakter dalam film) sangat cerdik mencuatkan tema itu
secara visual.
Tokoh yang ditampilkan
untuk menjawab pertanyaan itu adalah sosok billionare Philippus Brown
(diperankan Hans de Krakker). Brown seorang hartawan yang berubah drastik gaya
hidupnya sejak kematian anak tunggalnya. Ia bertemu Hussein pada hari yang
nahas di tempat yang nahas, di ruang kerjanya di lantai 74, menara utara WTC.
Brown menolak proposal Hussein untuk menyantuni anak-anak yatim Afghanistan,
tapi ia menerima kebaikan Hussein yang tak ternilai, menyelamatkan nyawanya
tatkala gedung simbol kapitalisme global itu ambruk. Sutradara Rizal Mantovani
menggarap teka-teki itu dengan cantik, meski kurang dramatik.
Film ini memang bukan
dikemas bak Bollywood yang menguras air mata atau bernyanyi gembira, namun
membangkitkan nalar. Betapa Islam dan kaum Muslimin akan memperlihatkan
kebenaran dengan berbagai cara. Kisah Hussein yang menyelamatkan nyawa korban,
tapi malah dipersepsikan sebagai teroris bukan isapan jempol. Sila dilacak true
storypetugas pemadam kebakaran dan paramedis Muslim yang bertugas di New
York, saat tragedi WTC 2001. Mereka menyelamatkan para korban, sebelum akhirnya
menjadi korban reruntuhan.
Dai asal Indonesia yang
kini menjadi imam masjid di kota New York, Shamsi Ali, merupakan salah seorang
saksi perubahan dahsyat pasca tragedi WTC. Ternyata makin banyak warga AS yang
tertarik mempelajari Islam, justru di tengah gencarnya Islamofobia. BTLA adalah
film bermuatan diplomasi publik yang brilian dan semakin relevan, saat kampanye
sarkastik dilancarkan calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump. Bisa
dibayangkan, bila suatu hari Trump terpilih sebagai presiden AS pengganti
Barrack Obama.
Dua film dengan satu
tujuan, menawarkan cara efektif melawan Islamofobia. Pertama, istiqamah dengan
nilai-nilai Islam universal: menjaga prinsip perdamaian dan mengelola
keragaman, sebagaimana dicontohkan Kiai Mukhlis. Ia menolak disebut sebagai
teroris, tetapi taat kepada aturan hukum dan membalas serangan aparat yang
diperalat kelompok Illuminati dengan pertolongan terbaik.
“Mim, meskipun saya
tidak bersalah, saya tidak mau pergi dari sini menggunakan cara yang tidak
sesuai hukum. Kotoran tidak bisa disucikan dengan kotoran. Wa qul ja-al
haqqu wa zahaqal bathil!,” ujar Kiai yang berpenampilan biasa, tanpa sorban
dan baju gamis.
Cara kedua melawan
kejahilan Islamofobia adalah melakukan investigasi jujur dan serius atas
berbagai peristiwa, sebagaimana ditampilkan Hanum dan Rangga. Hanum mewakili
insting seorang jurnalis, sedang Rangga memiliki kecerdasan seorang ilmuwan:
merangkai fakta dalam logika yang teruji solid. Munculnya kelompok ISIS,
Al-Qaeda, Boko Haram, Jemaah Islamiyah, Taliban dan lain-lain yang
mengatasnamakan Islam: harus diteliti dengan cermat, konteks sosial-politik dan
motif para pelakunya.
Tidak semua hal bisa
diungkap dalam film berdurasi kurang dari dua jam. Tapi, banyak peristiwa dan
fenomena di dunia ini yang jika direnungkan ulang, mirip dengan skenario sebuah
film. Ada sutradara di balik serangan ke Afghanistan (2001) dan Irak (2003),
konflik berlarut di Suriah dan Yaman, atau kudeta atas Presiden Muhammad Mursi
di Mesir (2014). Suatu hari teka-teki itu akan terjawab. Sang sutradara malah
menyebut korbannya, umat Islam, sebagai teroris.
Kita patut bersyukur
masih ada sineas bersikap obyektif dan idealis. Dengan menyaksikan film ini,
umat Islam harus sadar dan cerdas, agar tidak menjadi korban dari skenario para haters.
sumber : dakwatuna
0 Response to "2 Film Anak Bangsa Yang Memberi Pesan Dengan Benar "
Post a Comment